Pada suatu situasi Muhammad saw menjadi orang "kaya". Pada kondisi lain, menjadi orang "miskin".
Pada saat tertentu, beliau berada pada posisi di antara keduanya. Hal
ini tidak terlepas dari figur beliau untuk menjadi uswatun hasanah
(teladan yang baik) bagi semua lapisan masyarakat.
Rasulullah
saw pernah menjadi orang kaya, agar umatnya yang dianugerahi kekayaan
dapat mencontoh beliau tatkala berinteraksi dengan harta, cara
memperoleh harta yang halal, mensyukuri kekayaan, dan membelanjakannya
di jalan Allah.
Nabi pernah pula menjadi orang miskin, supaya
orang-orang yang kekurangan bisa meneladani beliau: bersabar dan
menjaga kehormatan diri, sekaligus keluar dari jerat kemiskinan dengan
cara yang baik..
Rasul telah dianugerahi harta yang sangat banyak, tetapi sesaat
kemudian beliau berada dalam kesederhanaan, hartanya diberikannya
kepada para yatim dan dhuafa.
Kesederhanaan kehidupan ekonomi Muhammad saw tercermin dari berbagai riwayat berikut:
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. Anas ra mengatakan: "Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau."(HR. Bukhari No. 2068, Kitabul Buyu')
Khalifah Umar bin Khattab pernah berkisah: "Aku
masuk menemui Rasulullah saw yang sedang berbaring di atas sebuah
tikar. Aku duduk di dekat beliau, lalu beliau menurunkan kain
sarungnya. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau.
Kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. Aku melihat
segenggam gandum, kira-kira seberat satu sha', dan daun penyamak
kulit di salah satu sudut kamar, juga sehelai kulit binatang yang
samakannya tidak sempurna. Seketika dua mataku meneteskan air mata
tanpa dapat aku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasulullah saw bertanya: "Apakah yang membuatmu menangis, wahai Putra Khattab?" Aku menjawab: "Wahai
Rasulullah bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar itu telah
membekas di tubuhmu, dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain
daripada apa yang telah aku lihat. Sedangkan Raja Romawi dan Persia
bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah
dan hamba pilihan-Nya, hanya ada dalam sebuah kamar pengasingan
seperti ini." Rasulullah saw lalu berkata: "Wahai Putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita, dan dunia menjadi bagian mereka?" (HR. Muslim No. 3768, kitab at-Thalaq)
Dalam riwayat lain diceritakan, suatu ketika para istri Nabi serentak
menuntut beliau agar keperluan nafkah mereka segera dipenuhi. Mereka
menuntut demikian karena Nabi mendapat harta rampasan setelah
memperoleh kemenangan di Hunain, tetapi kebutuhan keluarga tidak
didahulukan. Semua harta tersebut habis dibagi-bagikan oleh beliau
kepada yang lebih berhak, termasuk memberikan banyak unta kepada
orang-orang dari suku Arab yang baru memeluk Islam. Dalam kondisi
tiadanya bahan makanan seperti itu, Nabi beserta para istri beliau
sering memilih berpuasa.
Kesederhanaan Nabi sesungguhnya sudah tercermin dari keberadaan rumah
beliau beserta isinya, serta pakaian yang dikenakan. Rumah beliau
hanyalah berupa bilik-bilik yang teramat sederhana di samping masjid
Nabawi. Beliau makan apa adanya, secukupnya dan tidak berlebihan. Tidak
jarang, beliau memerah susu kambing dengan kedua tangannya untuk
memenuhi konsumsi keluarga. Dalam hal pakaian, Nabi mengenakan pakaian
yang tidak mahal. Malah beliau seringkali menjahit pakaiannya sendiri,
dan memperbaiki sepatunya dengan tangan sendiri.
Perlu ditekankan di sini, Nabi tidak menganjurkan apalagi
memerintahkan umat Islam berpantang dari segala bentuk kesenangan atau
kenikmatan (akseketisme). Menurut salah satu hadits, Rasulullah saw
bersabda: "Sungguh menyenangkan kekayaan itu jika didapat dengan cara yang halal dan oleh orang yang tahu cara membelanjakannya."
Masih menurut beliau, "Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan."
Wallahu a'lam bish-showab
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar