Sebagai
gambaran, yang disebut Filosofi Buah Kelapa itu serupa dengan apa yang
kita kenal, misalnya “Ibarat Ilmu Padi”, “Seperti Ikan di Laut”, “Ilmu
Kepiting”, dan lain-lain. Intinya, kita menyampaikan suatu hikmah
kebenaran dalam kehidupan manusia dengan melakukan analogi terhadap
perilaku hewan atau tumbuhan dalam kehidupan di alam semesta. (Masih
ingat kan, ketika putra Adam As mengubur saudaranya setelah melihat
seekor gagak mengubur gagak lawannya yang sudah mati di tanah? Juga ilmu
gravitasi yang diturunkan setelah seorang fisikawan melihat apel jatuh
dari pohonnya). Ya, kira-kira domain Filosofi Buah Kelapa di ranah
seperti itu.
Jangan
dibayangkan kita akan mengupas filosofi-filosofi Yunani, Mesir, India,
dan lain-lain. Tidak kesana arahnya. Istilah filosofi dipilih untuk
menggantikan istilah ILMU atau HIKMAH. Karena bisa juga disini disebut
“Ilmu Buah Kelapa” atau “Hikmah Buah Kelapa”. Tetapi dipilih istilah
“Filosofi” agar ada nuansa keunikan tertentu.
Lalu mengapa kita harus membahas “Filosofi Buah Kelapa”?
Ternyata
konstruksi buah kelapa itu sangat unik sekali. Ia diciptakan oleh Allah
Ta’ala dengan memiliki keunikan konstuksional. Dari bentuk dan susunan
buah kelapa itulah, kita bisa mendapatkan hikmah yang dalam tentang
KEKUASAAN POLITIK.
Apa,
tentang kekuasaan politik? Iya, benar. Tentang kekuasaan, sulthan,
imarah, daulah, dan sejenisnya. Ini serius. Dari konstruksi buah kelapa
kita bisa mendapatkan ibrah besar tentang tabiat kekuasaan politik di
tangan manusia. Ya, justru karena begitu besarnya makna urusan ini, ia
sengaja saya sampaikan sebagai “menu istimewa” di bulan istimewa,
Syahrur Ramadhan Syahrul Mubarak.
Lezatnya Masakan dengan Kelapa
[1].
Siapa yang tidak tahu buah kelapa? Pasti kita semua sudah tahu,
alhamdulillah. Buah ini sangat digemari dan bermanfaat dalam kehidupan
kita, bangsa Indonesia. Di bulan suci Ramadhan ini, rasanya hampir semua
rumah kaum Muslimin, pasti pernah menggunakan kelapa. Ya untuk kolak,
membuat kue, membuat kuah sayur, membuat serundeng (di Jawa), membuat
rendang (di Padang), dll. Kalau orang Minang dijauhkan dari buah kelapa,
ala maakk… menderito kito basamo (maaf kalau bahasa Minang-nya terlalu
memaksakan diri).
Hikmah: Buah
kelapa itu bisa diibaratkan sebagai kekuasaan (sulthan). Kekuasaan
sangat besar artinya dalam kehidupan insan. Bila kekuasaan baik, lurus,
dan amanah; maka sejahteralah kehidupan insan. Bila kekuasaan curang,
zhalim, dan korup; maka menderitalah kehidupan insan. Sama halnya,
ketika buah kelapa digunakan untuk masak-memasak secara layak, maka
kenikmatan hasilnya, alhamdulillah. Tetapi ketika buah kelapa
dibuang-buang, dibakar percuma, atau disiram zat-zat kimia berbahaya,
maka hal itu seperti keadaan: menyia-nyiakan kekuasaan.
[2].
Perhatikan betapa kokohnya konstruksi buah kelapa! Buah ini termasuk
buah dengan “sistem pertahanan” paling kuat. Bahkan buah durian saja,
kalah sempurna dari sisi pertahanan dirinya. Buah kelapa tak akan bisa
dibuka dengan pisau, dengan palu, bahkan sulit dibuka dengan gergaji.
Alat yang lazim digunakan untuk membuka buah kelapa ialah golok, kapak,
atau tonggak tajam yang ditancap di atas tanah. Alat standarnya golok,
baik untuk menghilangkan bagian sabut maupun membuka batok kelapanya.
Hikmah:
Kekuasaan itu bukan sesuatu yang mudah diraih. Ia tak akan bisa didapat
dengan usaha ecek-ecek, dengan santai-santai, dengan angan-angan, hanya
ceramah atau diskusi, atau sekedar membuat demo dimana-mana. Tidak akan
semudah itu meraih kekuasaan. Siapapun yang berhajat pada kekuasaan
ini, harus “menyediakan golok”, harus memiliki “tenaga kuat”, dan
sekaligus “pengalaman membuka buah kelapa”. Urusan kekuasaan tidak bisa
diatasi dengan sekali dua kali mengaji, seminggu dua minggu ikut
training, lalu kekuasaan pun terhidang di tangan. Tidak demikian
Saudaraku… Anda bisa melihat bagaimana proses Rasulullah Saw mencapai
kekuasaan…
[3].
Buah kelapa memiliki lapisan-lapisan kulit yang tebal. Lapisan terluar
adalah “kulit terluar” atau mungkin disebut epidermis. Kulit terluar ini
keras, tebalnya sekitar 1-2 mm. Ia tidak bisa diiris dengan pisau,
tetapi harus dihantam dengan golok. Setelah itu ada bagian kulit yang
cukup tebal, yaitu sabut kelapa. Sabut ini juga cukup sulit
membersihkannya, apalagi kalau kelapanya masih muda. Setelah sabut
kelapa, ada batok kelapa, merupakan bagian paling keras dari buah
kelapa. Batok kelapa saat ini banyak dimanfaatkan untuk membuat arang,
sebagai ganti bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar. Setelah batok
kelapa, masih ada lagi lapisan kulit yang menyelimuti buah kelapa.
Sangat tipis, dan warnanya coklat. Kalau masih muda coklat muda, kalau
sudah tua coklat tua. Setelah semua lapisan itu, barulah diperoleh buah
kelapa yang putih bersih, kenyal, dan siap dibuat…rendang.
Memecah Kelapa dengan Golok (Kekuatan)
Hikmah:
Perhatikan, hikmahi semua ini dengan ketajaman akal dan nuranimu! Untuk
sampai ke titik kekuasaan, kita harus menyingkirkan banyak penghalang.
Penghalang-penghalang itu adalah segala kekuatan yang selama ini menjaga
suatu sistem kekuasaan. Secara riil kekuasaan itu selalu dilindungi
oleh kekuatan dengan segala bentuknya, apakah berupa jaringan,
konstruksi politik, UU, alat negara, modal, dll. Bahkan kesadaran
masyarakat juga termasuk penjaga dari suatu sistem politik yang berlaku.
Tanpa menyingkirkan penjaga-penjaga kekuasaan itu…jelas singkirkan
mimpi Anda untuk “membuat rendang”… Lihatlah betapa jenius Rasulullah
Saw ketika menyingkirkan kaum Yahudi dari Madinah, dan melindungi
Madinah dari serangan kaum musyrikin Makkah.
[4].
Ketika kita sudah mendapat buah kelapa, ternyata buah kelapa itu keras
juga (maksudnya yang sudah tua). Kita harus memakai pisau dan parutan
untuk mendapatkan santan kelapa. Di banyak tempat, proses pemarutan
bahkan dilakukan dengan parutan mesin. Ya, intinya buah kelapa itu keras
juga. Kalau buah kelapa masih muda, sangat lembek, akhirnya hanya bisa
dimakan sebagai dissert (pencuci mulut).
Hikmah:
Begitulah hakikat kekuasaan di tangan manusia. Kekuasaan bukan urusan
yang lembek, lembut, atau lunak. Ia adalah urusan yang keras, kuat,
tangguh. Dalam istilah Islam, ia dikenal dengan sebutan: SULTHAN (yang
artinya awalnya kekuatan). Maka untuk memegang kekuasaan ini tidak
dibutuhkan manusia yang terlalu banyak toleransi, terlalu banyak memberi
maaf, terlalu sering ragu-ragu, terlalu banyak pertimbangan, atau
terlalu penakut. Para pemegang kekuasaan haruslah manusia yang
pemberani, berkarakter, tegas, jelas, dan tidak ragu-ragu. Pemimpin itu
tidak harus sangat pintar, sangat banyak ibadah, tampan, atau kutu buku.
Tidak harus seperti itu. Tetapi wajib baginya memiliki ketegasan,
keberanian, dan karakter kuat. Terkait dengan masalah kehidupan di
Indonesia, sampai ada yang mengatakan: “Indonesia ini membutuhkan
seorang diktator yang shalih.” Sejujurnya, saya setuju itu! Jika
kekuasaan berada di tangan orang berhati lemah, terlalu toleran, banyak
bersolek, dan ragu-ragu, maka hasilnya adalah: kita akan makan “es
kelapa muda” terus-menerus, baik saat pagi, siang, atau malam.
Batok: Penjaga Terkuat Buah Kelapa
[5].
Buah kelapa itu juga memiliki air. Ia dikenal sebagai “air kelapa”.
Dalam sejarah manusia yang membuka buah kelapa, pasti dan pasti akan
menumpahkan airnya. Tidak mungkin kita mendapatkan buah kelapa, tanpa
menumpahkan airnya. Ada yang berkata: “Tapi kan air kelapa itu bisa
disimpan di teko, di wadah, atau gelas besar.” Ya tetap saja, air kelapa
itu akan keluar dari tempatnya, baik berceceran atau bisa dituang rapi
ke gelas. Soal kemudian air itu mau disimpan dimana, tidak masalah. Yang
jelas, air itu tetap keluar dari tempatnya.
Hikmah: Urusan
kekuasaan adalah urusan besar. Ia bukan urusan kecil, remeh, atau
ecek-ecek. Ia benar-benar besar, dan memiliki dampak kehidupan secara
luas. Untuk meraih kekuasan, untuk mengganti sistem kekuasaan, untuk
memperbaiki kondisi kekuasaan; semua itu mengharuskan kita membayar
resikonya. Siapapun yang ingin mengubah kekuasaan, dengan berharap tidak
“jatuh korban”, adalah sangat mustahil. Hampir seluruh sejarah
peristiwa peralihan sistem kekuasaan, disana selalu memakan korban.
Memang peralihan kekuasaan yang mulus, bisa memininalisir korban;
seperti menampung air kelapa di gelas. Tetapi peralihan kekuasaan yang
kasar, seperti muncratnya air kelapa kemana-mana. Ada yang mengatakan,
“Revolusi akan memakan anaknya sendiri.” Ya, kalau revolusinya liar bisa
seperti itu. Kalau terkendali, bisa diminimalisir jatuhnya korban.
[6]. Setiap
orang kalau ditawari makan buah kelapa, atau makan masakan-masakan yang
dimasak dengan buah kelapa, rata-rata akan suka dan sangat senang. Saya
hampir tak pernah mendengar ada orang alergi buah kelapa. Tetapi kalau
kita katakan kepada mereka: “Siapa mau membantu saya membuka buah kelapa
ini?” Rata-rata mereka akan geleng-geleng kepala. Mereka tak mau,
malas, atau tak ingin mendapat resiko.
Hikmah:
Begitulah karakter umumnya manusia. Sebagian besar manusia enggan untuk
diajak membangun kekuasaan, memperbaiki kekuasaan, atau mengganti
sistem kekuasaan. Sebagian besar akan “angkat tangan”. Tetapi bilamana
kekuasaan itu sudah di tangan, sudah “terhidang di meja”, sudah “tinggal
disantap”, mereka akan berebut mendapatkannya. Kalau perlu mereka akan
berkilah: “Saya paling berhak. Saya tokoh Reformasi. Saya paling
berjasa. Saya dulu yang menggulingkan Soeharto. Saya sosok yang adil,
bijaksana, tidak haus kekuasaan, mengabdi 200 % untuk rakyat, tidak
korupsi, tidak terlibat selingkuh, tidak cacat hukum,…dan lagi pula saya
cakep.” Begitulah, manusia berebut ingin menikmati kekuasaan, tetapi
tidak mau berjuang memperbaiki kekuasaan.
Demikianlah
Saudaraku rahimakumullah…penjelasan seputar “Hikmah Buah Kelapa”. Masya
Allah, walhamdulillah, Allah Ta’ala mengajarkan kita tabiat kekuasaan
politik itu melalui sifat makhluk-Nya, yaitu: Buah Kelapa.
Walhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Bagi
siapapun yang sering berbicara tentang politik Islam, kekuasaan Islam,
daulah wa khilafah, dan sebagainya, silakan ilmui, renungkan, dan pahami
secara jelas tentang sifat buah kelapa. Apabila Anda tidak memahaminya,
jangan terlalu berharap akan bisa menikmati “lezatnya santan kelapa”.
Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Wallahu a’lam bisshawaab.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar