Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
atas anugerah nikmat Islam, iman, dan nikmat-nikmat lainnya tiada
terkira. Shalawat dan dalam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Ghibah yang dalam arti menyebut
(membicarakan) orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang
dibencinya meskipun yang dibicarakan itu benar adanya, adalah dosa
besar. Keharamannya disebutkan secara gamblang dalam Al-Qur'an dengan
permisalan yang sangat menjijikkan, agar kaum muslimin mejauhinya. Allah
Ta'ala berfirman,
وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujuraat: 12)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam
menafsirkan ayat ghibah di atas mengatakan, "Ghibah (menggunjing)
diharamkan menurut ijma'. Tidak ada pengecualian darinya kecuali jika
ada mashlahat yang lebih, seperti dalam konteks jarh wa ta'dil dan nasihat."
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, "Ijma' menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dari dosa besar. Dan wajib bertaubat kepada Allah darinya."
Permisalan yang disebutkan Al-Qur'an menunjukkan keharaman dan buruknya perbuatan ghibah terletak pada kalimat, "Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya."
Dalam konteks ini Allah memburukkan
perilaku ghibah agar orang-orang menjauhinya. Sebab seluruh manusia
pasti menganggap perbuatan memakan daging manusia sebagai sesuatu yang
menjijikkan. Terlebih yang dimakan adalah saudara kandungnya sendiri
ataupun saudara seiman. Lalu bagaimana kalau yang dimakan adalah daging
yang sudah busuk?!
Al-Qurthubi mengatakan, "Allah
mengumpamakan ghibah dengan memakan bangkai, karena bangkai tidak tahu
kalau ia dimakan. Begitu juga dengan orang hidup, ia tidak tahu
gunjingan orang yang menggunjingnya."
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma
mengatakan, "Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan ini untuk perbuatan
ghibah, karena memakan daging bangkai adalah perbuatan haram yang
menjijikkan, begitu juga ghibab, haram dalam pandangan agama dan buruk
menurut penilaian jiwa."
Qatadah rahimahullah berkata,
"Sebagaimana salah seorang kalian dilarang memakan daging saudaranya
yang sudah mati, begitu juga wajib menjauhi menggunjingnya sewaktu ia
masih hidup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Setiap muslim haram darah, harta, dan kehormatannya atas muslim lainnya." (HR. Muslim)
. . . karena memakan daging bangkai adalah perbuatan haram yang menjijikkan, begitu juga ghibab, haram dalam pandangan agama dan buruk menurut penilaian jiwa.
Namun, dalam beberapa kondisi ternyata
ghibah itu dibolehkan. Khususnya apabila dia menjadi satu-satunya jalan
untuk tercapai tujuan yang benar dan masyru’ (sesuai syariat).
Contohnya, mengadukan kedzaliman orang atas dirinya, meminta fatwa,
memberi nasihat, memperingatkan manusia atas kejahatan orang, meminta
bantuan untuk merubah kemungkaran, serta untuk memberitahukan hal ihwal
seseorang.
Dalil ghibah yang dibenarkan dalam mengadukan kezhaliman seseorang atas dirinya terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk,
(yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148)
Dia boleh mendoakan orang yang mezhaliminya dan mengadukannya tanpa
berbohong, namun demikian memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat
dengan takwa.
Dalil bolehnya menggunjing seseorang ketika meminta fatwa adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha.
Hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah laki-laki yang pelit. Dia tidak memberikan nafkah kepadaku yang
cukup untuk diriku dan anakku kecuali kalau aku mengambil darinya yang
dia tidak tahu. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, “Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara
yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari) landasannya adalah pertaannya,
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit.” Dia
membicarakannya apa yang ada pada diri Abu Sufyan di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Sedangkan dalil yang menunjukkan
bolehnya ghibah terhadap orang jahat yang terang-terang dalam melakukan
kajahatannya dengan tujuan agar orang yang mendengarnya menjauhi
perbuatan tersebut adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha yang berkata, “Seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
lalu beliau bersabda, “Izinkanlah dia, seburuk-buruk saudara satu
kabilah.” Maka dia masuk, beliau melembutkan perkataan kepadanya.
Aku (‘Aisyah) berkata, “Ya Rasulullah,
engkau telah berkata apa yang engkau katakana, lalu engkau berkata
lembut kepadanya.” Beliau menjawab, “Hai Aisyah, sesungguhnya
seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia
karena takut akan kejahatannya.” (HR. Al-Bukhari)
Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan/dijauhi manusia karena takut akan kejahatannya. (al-hadits)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa
laki-laki ini adalah ‘Uyainah bin Hishn al-Fazzari yang ketika itu belum
masuk Islam, walaupun dia menampakkan Islamnya, karenanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
hendak menjelaskan kondisinya agar orang-orang mengenalnya dan tidak
tertipu dengan tampilannya. Dan sungguh terbukti di masa Nabi Muhammad
dan sesudahnya ada beberapa hal yang menunjukkan kelemahan imannya. Pada
masa Abu Bakar, dia pernah murtad dan tertawan.
Maka yang pernah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sifatkan
padanya itu menjadi bagian dari tanda-tanda kenabian beliau, karena
terbukti sebagaimana yang beliau sifatkan. Dan sikap beliau yang
melembutkan perkataan kepadanya dan orang-orang yang seperti dia, adalah
sebagai upaya menjinakkan agar dia masuk Islam. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
tidak memujinya dan tidak pula menyebutkan bahwa beliau menyanjungnya,
baik di hadapannya atau di belakangnya. Hanya saja beliau melunakkannya
dengan sedikit dunia (memberikan harta) dan berkata yang lembut.
Sementara bukti bahwa ghibah dibolehkan dalam rangka memberi nasihat ditunjukkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
“Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rasulallah?”
Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin
kaum muslimin dan untuk manusia secara keseluruhan.” (HR. Muslim)
Seseorang boleh menyebutkan kejelekan
orang lain untuk menasihati kaum muslimin agar pengaruh jeleknya dan
sesuatu yang membahayakannya. Contoh nyatanya dengan menjarh para perawi dan saksi untuk memelihara hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Kemudian juga menyebutkan keburukan orang dalam musyawarah urusan nikah, perserikatan, dan kongsi.
Bukti bolehnya ghibah ketika meminta bantuan untuk merubah kemungkaran adalah seluruh nash yang menyebutkan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan melarang dari kemungkaran). Di antaranya firman Allah Jalla Jalaluhu,
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dan perintah Nabi terhadap pemimpin-pemimpin yang jahat, “Siapa
yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang
melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya
dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun
sesudah itu.” (HR. Muslim)
Sementara bukti dibolehkan ghibah dalam
rangka mengenalkan dan membedakan seseorang dari yang lain tanpa maksud
merendahkan dan menghina adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
mengimami kami dalam shalat Zhuhur, dua rakaat lalu salam. Kemudian
beliau menuju ke sebuah kayu di masjid depan dan meletakkan tangannya di
atasnya. Di tengah-tengah jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya
segan untuk berbicara kepada beliau. Segera muncul kesimpulan
orang-orang yang berkata, “Shalat telah diqashar.” Dan di antara jama’ah
terdapat seseorang yang dijuluki Nabi dengan Dzul Yadain, dia berkata,
“Wahai Nabiyallah, apakah Anda lupa atau shalat diqashar?” Lalu beliau
menjwab, “Aku tidak lupa dan tidak pula shalat diqashar.” Mereka
menjawab, “Berarti Anda lupa ya Rasulallah.” Beliau menjawab, “Dzul
Yadain benar.” Lalu beliau berdiri dan shalat dua rakaat lalu salam.
Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sujud sahwi.” (Muttafaq ‘alaih)
Dasarnya adalah Nabi memanggil laki-laki ini dengan dzul yadain
(yang punya dua tangan). Telah diketahui, panggilan semacam itu jika
untuk menerangkan dan membedakan dari yang lain boleh-boleh saja. Namun
jika untuk merendahkan maka tidak boleh. Dari sini, ketika ‘Aisyah
mengisaratkan kepada seorang wanita yang menemuinya bahwa dia pendek,
maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya dan
menerangkan hal itu sebagai ghibah. Karena Aisyah bermaksud
memberitahukan bentuknya bukan hanya untuk mengenalkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah
membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya
diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab
berikut ini:
1. Al-Tazhallum
(mengadukan kezhaliman). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk
mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau
yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia
dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan
mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara
seperti ini dan itu.”
2. Permintaan bantuan
untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada
kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu
melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
3. Permintaan fatwa (al
istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi
fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah
menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat seperti itu?
Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar
dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini
hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan,
“Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah,
anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan
secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya,
“Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.”
4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
- Menyebutkan keburukan
orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi
ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib
sebagai langkah melindungi syari’at.
- Membeberkan aibnya
ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam
bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent).
- Apabila melihat
seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang
suka mencuri, berzina, mabuk-mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh
memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka
memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak.
- Apabila engkau
melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang
fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia
terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat
dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati.
- Seseorang yang
memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena
bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada
orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan
tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya
untuk istiqamah.
5. Seseorang yang
melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan
terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang
(memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil
lainnya. Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan
kejahatan dengan terang-terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh
kecuali ada sebab yang lain.
6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilan al-A’masy
(orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna
biru), pendek, buta, buntung tangannya, dan semisalnya maka boleh
memperkenalkannya dengan menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya
(membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya
dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar